Saturday, August 30, 2014

Apa tujuan Allah menciptakan Iangit, bumi dan segala isinya ?

Allah menciptakan Iangit, bumi dan segala isinya tidak dengan main-main/sia-sia.




Dan tidaklah kami ciptakan Iangit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain- main”. (QS Anbiya’ ayat 16)

Friday, August 22, 2014

Hukum Jual Beli dalam Islam



Landasan atau dasar hukum mengenai jual beli ini disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an, Hadist Nabi:
 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ج

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
(QS. An-Nisa’/4:29)

2:275


Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.(QS. Al-Baqarah : 275).



Dalam riwayat lain Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَايَتَفَرَّقُ الْمُتَبَايِعَانِ عَنْ بَيْعٍ إِلَّاعَنْ تَرَاضٍ.
Janganlah dua orang yang berjual beli berpisah ketika mengadakan perniagaan kecuali atas dasar suka sama suka. (HR. Ibnu MaAhmad dan dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Musnad Imam Ahmad, 2/536 dan Irwaaul Ghalil, no. 1283)

Adakah Batas Maksimal Keuntungan Usaha?


Tidak ditemukan satu dalilpun yang membatasi keuntungan yang boleh direngguk oleh seorang pedagang dari bisnisnya. Bahkan sebaliknya, ditemukan beberapa dalil yang menunjukkan bahwa pedagang bebas menentukan prosentase keuntungannya. Berikut adalah sebagian dari dalil-dalil tersebut:

Dalil Pertama:
عَنْ عُرْوَةَأَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلّم، أَعْطَاهُ دِينَارًا يَشْتَرِي لَهُ بِهِ شَاةً فَاشْتَرَى لَهُ بِهِ شَاتَيْنِ فَبَاعَ إِحْدَاهُمَابِدِينَارٍوَجَاءَهُ بِدِينَارٍ وَشَاةٍ فَدَعَالَهُ بِالْبَرَكَةِ فِي بَيْعِهِ وَكَانَ لَوْاشْتَرَى التُّرَابَ لَرَبِحَ فِيهِ.
Dari Urwah al Bariqi, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memberinya satu dinar uang untuk membeli seekor kambing. Dengan uang satu dinar tersebut, dia membeli dua ekor kambing dan kemudian menjual kembali seekor kambing seekor satu dinar. Selanjutnya dia datang menemui nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan membawa seekor kambing dan uang satu dinar. (Melihat hal ini) Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mendoakan keberkahan pada perniagaan sahabat Urwah, sehingga seandainya ia membeli debu, niscaya ia mendapatkan laba darinya. (HR. Bukhari, no. 3443)



Pada kisah ini, sahabat Urwah Radhiyallahu ‘Anhu dengan modal satu dinar, ia mendapatkan untung satu dinar atau 100%. Pengambilan untung sebesar 100% ini mendapat restu dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan bukan hanya merestui, bahkan beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berdo’a agar perniagaan sahabat Urwah senantiasa diberkahi. Sehingga sejak itu, beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam semakin lihai berniaga.
 Dalil Kedua:

Sahabat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa para sahabat mengadu kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Wahai Rasulullah, telah terjadi kenaikan harga, hendaknya engkau membuat ketentuan harga jual!” 
Menanggapi permintaan ini, beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya: “sesungguhnya Allah-lah yang menentukan pergerakan harga, Yang menyempitkan rezeki dan Yang melapangkannya. Sedangkan aku berharap untuk menghadap kepada Allah dan tidak seorangpun yang menuntutku dengan satu kezhaliman, baik dalam urusan jiwa (darah) atau harta kekayaan.” (HR. Abu Dawud, no 3453, Tirmidzi, no. 1314 dan dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani dalam kitab Misykatul Mashabih, no. 2894).